Friday 13 March 2015

TIDURNYA AL-QUR'AN by Deden M. Makhyaruddin

Keberhasilan seseorang dalam menghafal Al-Qur'an dapat dilihat dari kualitas tidurnya. Bagaimana tidak, dia sudah bisa menata tidur sedemikian rupa, sangat rapih, maka menata hafalan tentu lebih bisa. Begitu pula dengan pencapaian yang lain.
Tidur yang berkualitas adalah yang nyenyak, diniatkan, tepat waktu, dan durasinya tidak lebih dari 7 atau 8 jam per-hari, sudah termasuk tidur yang berdurasi maksimal 30 menit di tengah hari, yaitu sebelum atau sesudah shalat zhuhur. Rasulullah Saw. Menyebutnya dengan qailulah.

Tidur, apabila berkualitas, akan memberikan efek rilek pada otak, otot, dan badan, hingga bersemangat terus. Imbasnya, pola makan dan pola hidup semakin teratur. Pencapaian kerja pun menjadi ideal. Shalat malam yang ideal adalah yang dilakukan setelah tidur. Kiranya tak berlebihan, apabila tidurnya penghafal Al-Qur'an yang berkualitas sudah bisa membawanya ke surga. Karenanya, tidur yang berkualitas disebut dalam Al-Qur'an dengan "amanatan," yakni nikmat, anugerah, keamanan dari Allah SWT. Sebagian besar amal ibadah Ashhabul Kahfi adalah tidur, karena tidur mereka mampu memnyelamatkan iman. Demikian pula tidurnya Nabi 'Uzair, karena mampu meyakinkan hati kepada hari Kebangkitan.
Allah SWT menyebut tidur yang berkualitas dengan subat, atau bisa diartikan pemotong aktivitas, hingga badan dan syaraf menjadi rileks. Yakni, tubuh manusia itu punya hak untuk tidur. Hidup yang berkualitas itu bukan tanpa tidur, tapi ditentukan tidur yang berkualitas pula. Begitu pula, tidur yang berkualitas bukanlah yang banyak, tapi yang seimbang dan yang menjadi penopang hidup yang berkualitas.
Tidur sebagai subat terbaca misalnya dalam surah Al-Naba (ayat 9) tantang Kiamat. Kemudian ditemukan pula dalam surah Al-Furqan (ayat 47) tentang Al-Qur'an. Karena, memang, tidur adalah salah satu bukti niscayanya Kiamat, sedang pembicaraan Kiamat atau Kebangkitan selalu dikaitan dengan pembicaraan Al-Qur'an.

No comments:

Post a Comment