Piala Dunia tiba-tiba jadi momen tak terlupakan, hampir bagi semua kalangan. Tahun 2002, saat kuberanjak remaja, kucemas hadapi masa depan yang, baru kusadari, tampak sangat suram. Piala Dunia tak lagi memberiku keceriaan. Harus ada peristiwa besar dalam hidupku yang, kemudian, paling tidak, bisa kukenang setiap kali datang Piala Dunia. Kubulatkan tekad menghafal Al-Qur'an awal Juni saat Piala Dunia berlangsung meriah di dua negara, Korea dan Jepang.
Selama masa menghafal, puasa sempurnakan laparku. Tak ada bekal, apalagi uang. Bertemu nasi putih sekali dalam sehari sudah cukup bagiku. Terselip syukur dalam setiap hela nafas, karena, ternyata, masih ada yang perhatian padaku. Yaitu pamanku, sekaligus guru tahfizhku, dan bibi-ku, kakak pamanku, yang relakan rumahnya kutinggali selama menghafal. Bagiku, mereka adalah malaikat. Selain mereka, tak satupun keluargaku yang tahu aku sedang menghafal Al-Qur'an.
Kunikmati juz demi juz Al-Qur'an bersama cerita orang tentang Piala Dunia. Bersama Al-Qur'an, semuanya menjadi beda. Meriahnya Piala Dunia tak seberapa dibanding meriahnya ayat-ayat di hatiku. Hari-hari berlalu hadirkan senyuman dan kedamaian. Kutahu hidupku, kala itu, tengah tak mudah, tapi kuyakin huruf-huruf yang kuhafal akan membalikkan keadaanku tak lama lagi. Aku jadi tak tertarik mendukung team-team besar Piala Dunia. Kuhanya mau mendukung team yang di antara para pemainnya punya hafalan Al-Qur'an. Negara manapun juaranya, pemenangnya harus aku.
Saat hafalanku sampai pada juz 14, terbayang nikmatnya teh manis kala berbuka sambil menyaksikan siaran langsung semi final Jerman melawan Korea Selatan. Tak mustahil kiranya, meski hidupku jauh dari peradaban, kalau suatu saat nanti aku menjadi juara 1 dunia tahfizh dan tafsir Al-Qur'an, sebagaimana Korea Selatan, siapa sangka bisa kalahkan Italia di per-delapan final, kemudian bertemu Jerman di semi final.
Beberapa "pucuk" teh celup yang kusimpan lama sejak pertama menghafal makin menggodaku. Takkan kuseduh sebelum ada gula, karena hanya akan menyisakan pahit. Tak kusangka, kemudian kudapat uang seribu rupiah persis setelah kumembayangkannya, dan kupikir cukup untuk membeli seperempat kilo gram gula pasir.
Bersama Zaki, kakak sepupu-ku yang yatim, kubeli gula pasir di warung Mang Aos saat pertandingan Jerman melawan Korea Selatan tengah berlangsung. Warung penuh sesak oleh para pengunjung. Tak berkedip fokus ke TV hitam putih di sudut warung. Sesekali kudengar gaduh. Rupanya, saat kuintip, beberapa kali Mechael Ballack gagal jebol gawang Korea. Tak perduli dengan kegaduhan, sekantong plastik kecil gula pasir impianku berhasil kudapat.
Rasa senang penuhi semua rongga dadaku. Tak sabar ingin nikmati teh manis, langkahku tak seimbang. Kulempar-tangkap kantong plastik berisi gula ke atas. Berpindah dari tangan kanan ke tangan kiri, dan dari tangan kiri ke tangan kanan. Jalan minim penerangan. Sangat gelap kalau malam. Terlebih di sekitar pohon rambutan milik Zaki.
"Buk."
"Apa tuh." Tanya Zaki kaget.
"Apa tuh." Tanya Zaki kaget.
"Waah, gulanya jatuh, Zak." Jawabku lemas.
Lewati jalan gelap di bawah pohon rambutan, kakiku tersandung akar kering. Kutak jatuh, tapi gula terpental, lepas dari genggamanku. Tak bisa kuselamatkan meski meronta. Kantong plastiknya pecah. Butiran putih gula tumpah berserakan bercampur dengan debu. Segera kupisahkan gula yang masih terlihat bersih. Beberapa genggam berhasil kubawa, meski kutak yakin bersih semua karena gelap.
"He, he... Nasib, nasib." Aku tergelitik takdir.
Kucelupkan teh dalam segelas air panas dicampur gula yang tak putih lagi. Aromanya begitu kuat, seakan masih tercium hingga sekarang. Nikmatnya tak terlukiskan. Teh ternikmat sepanjang hidupku. Zaki menyalakan televisi hitam putih yang gambarnya tak jelas. Ternyata, pertandingannya sudah usai. Satu kosong untuk kemenangan Jerman.
"Hah, apa?"
Wallaahu A'lam.
No comments:
Post a Comment